Tentang Charles Bukowski dan bagaimana penulis ini mengajarkan kita untuk berjalan diatas api.

Orangtuanya bahkan bukan hanya menganggapnya tidak berarti, orangtuanya bahkan menganggap bahwa ia adalah anak yang hina, ia seringkali disiksa oleh Ayahnya yang otoriter mantan tentara, yang selalu memarahinya dengan bilang “Anak kecil tidak seharusnya berbicara, namun hanya mendengarkan.” Maka masa kecilnya dihabiskan dengan diam seperti patung tanpa memunculkan emosi apapun. Tak heran ketika ia melawan segala crappy-life—begitu ia menyebut hidupnya “I’m blessed with my crappy life.” Ia tak mampu menghadapi hidupnya dengan rasa waras didirinya, baginya seluruh sendi badannya adalah luka, adalah hina seperti anggapan orangtuanya sendiri. Sehingga tentu saja ketika ia ingin menulis, ketika ia ingin menghadapi hidupnya sendiri, ia tidak hanya berusaha melakukan kreativitasnya, ia juga melawan luka. Karena saat menulis adalah saat dimana kita akhirnya ingin mengenal diri kita sendiri, dan itu bukan perkara mudah. Banyak orang didunia yang ingin tidak mengenal dirinya sendiri. Ia melakukan banyak sekali kegiatan alter yang membuatnya tidak harus menghadapi dirinya. Seperti: mabuk-mabukan (seperti Charles Bukowski sendiri), lalu bermain HP terus menerus (membuatmu tidak dapat mengenal dirimu sendiri), menonton video. Tanpa kita sadari kecanduan-kecanduan itu mungkin saja hanya usaha kita untuk menghilangkan permasalahan yang sesungguhnya ada didalam diri kita.
Disuatu usia senja di hidupnya, setelah 13 tahun bekerja di Post Office (judul buku pertama yang ditulisnya juga) dan memasuki umur 50th, saat itulah dibenak pikirannya ia baru mempertimbangkan untuk menulis buku.
Setelah sekian lama bekerja dikantor pos dimana ia tidak ingin menjadi apapun—begitu yang ia katakan.
Di bukunya yang kedua Ham On Rye, Charles Bukowski menceritakan bahwa ia tidak ingin melakukan apapun didalam hidupnya. Orang-orang saat itu ingin menjadi dokter, pengacara, dan profesi-profesi lain, namun baginya hal-hal seperti itu tidak masuk akal baginya. Yang ia inginkan adalah hidup didalam gua dengan beberapa cadangan makanan.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berpikir bahwa, apabila aku hidup dimasanya dan bertemu dengan Bukowski kecil aku pasti akan memeluknya dan menjelaskan, bahwa lukanya dan kecenderungannya untuk mengasingkan diri karena perilaku ayahnya. Namun sepertinya aku juga tidak perlu seperti itu, karena, he is a really cool old man and he’s win. He’s win big time. Ia tidak menjalani hidup dengan berusaha menjadi orang lain atau dengan berusaha menjadi orang yang positif, ia sadar penuh bahwa hidup adalah luka, dan ia menjalaninya—ia mengajarkan kita untuk bagaimana berjalan diatas api.
Aku tidak bisa melupakan bab dimana ayahnya menyiksa dirinya dikamar mandi, hal yang sudah rutin dilakukan ayahnya untuk menyiksanya dari kecil, dengan razor, sebuah silet kekakinya. Namun hari itu, hari dimana ia beranjak remaja, ia menyadarkan ayahnya bahwa segala siksaan itu tiada guna dilakukan, saat akhirnya ayahnya sadar bahwa ia sama sekali tidak kesakitan dan malah menatap mata ayahnya “hanya segini yang bisa kau lakukan?” ayahnya tidak berkata apa-apa, tahu bahwa hati anaknya sudah menjadi sekeras batu, ayahnya pergi berlalu dan tak lagi menyiksa dirinya. Cara aku menuliskan adegan ini seperti sekarang, sangat lame, karena jika kau memmbaca langsung Ham On Rye, bab itu, mungkin adalah bab puncak-puncak terbaik di karir menulis bapak tua ini.
Sedari kecil dirinya dipaksa untuk membekukan emosinya. Ia hidup dari masa remaja sampai masa tua dengan minuman keras, karena kesadaran dikala normal adalah luka baginya. Bahkan dibanyak sesi pembacaan puisinya, Bukowski tidak hanya membawa botol wine kemeja bacanya, namun juga kulkas yang ditaruh dipanggung, aku suka perayaan hidup yang penuh luka yang dilakukannya.
Ia bilang ia hanya bisa menulis dimalam hari, dan itupun sambil meminum minuman kerasnya. Lagi-lagi di Ham On Rye, bahkan dia bilang dia sebenarnya ingin bunuh diri, namun kemudian dia bilang tidak ada poinnya juga bunuh diri. Walaupun ia lahir dan besar dimasa depresi di Amerika, dimana banyak sekali orang yang bunuh diri saat itu. Aku rasa ada sebuah energi yang dia yakini dimana ia bisa terus menerus yakin untuk hidup, dan energi itu pastilah menulis, dan kesombongan didalam dirinya bahwa ia mengetahui sesuatu, sesuatu yang orang-orang tidak ketahui. “I knew something that they don’t.” begitu yang terus menerus ditulisnya.
Bukowski tak perduli apapun, namun disatu stage didalam hidupnya, ketika seluruh hidupnya runtuh dan hilang arah dan dirinya sudah terlanjur sangat tua, 50an ketika itu setelah bekerja 13 tahun dikantor pos, masih mabuk-mabukkan hanya 1 keinginannya yang masih terbesit, yaitu adalah menulis novel. Yang berarti bahwa, jika this careless old man dapat terus ingin menulis disaat-saat dia tak perduli apapun didunia ini, berarti kau memang tidak dapat lari dari itu betapapun kau tidak ingin menulis. Dan itulah yang dilakukannya, walaupun ia hanya bisa menulis dimalam hari dan harus dengan meminum banyak wine murah, dan sangat-sangat ketakutan sangat menulis.
Aku tak perlu lagi secara mental harus merasa menyelamatkannya karena ketika ia sukses diusia tua, disaat itu pulalah ia merasakan kedamaian, disalah satu wawancaranya dia bilang dia tak lagi takut mati, matanya pun seperti mengandung kedamaian, seperti sudah berdamai dengan hidup dan masa lalunya. ia menang, dari ayahnya, dan dari masa lalunya. Tidak seperti Jack Kerouac yang dimasa tuanya menjadi alkoholik yang mengisi hidupnya dengan selalu setengah tidak sadar, untuk kemudian meninggal dengan tidak bahagia. Bukowski menjadi alkoholik sepanjang hidupnya, namun sadar bahwa ketidak-bahagiaan dan luka adalah teman setianya dan itu tidak apa-apa.
I don’t ask for happines, just need a little less pain. – Charles Bukowski